Situs LPS Dapat Serangan Siber 2,5 Miliar Kali dalam Dua Pekan

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengeklaim mendapat serangan siber bertubi-tubi dalam dua pekan terakhir. Menurut catatan Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa dalam dua pekan terkahir lembaganya mendapat serangan siber DDos (Distributed Denial of Service) sebanyak 2,5 miliar.
Jumlah ini diklaim membuat serangan terhadap LPS masuk dalam empat besar serangan siber terbesar di dunia saat ini.
“Dalam dua minggu terakhir, serangan cyber ke LPS meningkat dengan pesat sekali. Itu bukan bagus ya, jelek. Itu serangannya kencang banget,” pungkasnya
Serangan masif ini menjadi sinyal bahwa LPS kini bukan lembaga biasa di ranah keuangan Indonesia.
Menurutnya, meningkatnya peran strategis LPS dalam sistem keuangan, mulai dari penjamin simpanan, resolusi bank, hingga rencana penjaminan polis asuransi di 2028 membuat lembaga ini makin rentan jadi sasaran.
“Ini bahkan dalam lima menit itu bisa 100 juta serangan DDoS-nya. Dalam dua minggu terakhir itu 2,5 miliar lebih serangan ke LPS,” kata Purbaya.
Tak tinggal diam, LPS mengklaim telah memperkuat sistem pertahanan digital mereka sejak 2021, termasuk dengan merekrut hacker-hacker profesional untuk menguji ketahanan siber internal.
Dana miliaran rupiah telah diinvestasikan untuk memperkuat sistem teknologi informasi mereka.
“Kita juga sudah hire hacker-hacker yang jago-jago supaya sistem kita betul. Jadi penyerangan ini bertahap,” ungkapnya.
Dalam penelusuran LPS, serangan yang terjadi menggunakan ribuan IP dari lebih 40 negara. Hingga kini, identitas penyerangnya masih didalami.
“Yang jelas ini, serangan LPS ini, yang keempat terbesar di dunia,” tegasnya.
Purbaya sempat menduga serangan ini berkaitan dengan momen pencairan dana penjaminan kepada nasabah bank yang dilikuidasi.
LPS memang sedang mengelola sejumlah proses pembayaran klaim simpanan, dan kabar ini tak luput dari pantauan para pelaku siber.
Purbaya menekankan, isu keamanan siber kini tak lagi bisa dipandang sebagai sekadar urusan teknis. Dalam lanskap digital global, risiko siber telah menjadi ancaman strategis yang bisa mengganggu kelangsungan institusi, reputasi lembaga, hingga stabilitas ekonomi nasional.
“Menjalankan isu keamanan cyber kini tidak lagi hanya menjadi isu teknis, tapi juga bagian dari risiko strategis yang dapat mempengaruhi kelangsungan rasional, reputasi, dan stabilitas ekonomi, baik secara nasional maupun secara global,” ujar Purbaya.
Tahun ini, LPS merayakan usia dua dekade sejak berdiri pada 2005. Dalam rentang waktu itu, LPS berkembang dari sekadar lembaga pembayar klaim (paybox) menjadi institusi mitigasi risiko (risk minimizer). Mereka kini aktif dalam mencegah krisis dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Peran baru pun menanti, salah satunya adalah implementasi program penjaminan polis asuransi yang ditargetkan berjalan pada 2028. Ini akan menambah beban kerja lembaga, namun dinilai sebagai langkah penting memperkuat jaring pengaman keuangan nasional.
Tak hanya soal teknologi dan regulasi, LPS juga memantau kesehatan keuangan masyarakat lewat dua indeks penting yang dikembangkan sendiri yakni Indeks Konsumsi Konsumen (IKK) dan Indeks Menabung Konsumen (IMK).
IKK pada Juni 2025 tercatat sebesar 99,4, turun tipis dari bulan sebelumnya, namun masih berada dalam kategori stabil. Sementara itu, IMK naik ke 83,8, menunjukkan masyarakat mulai merasa punya kemampuan untuk menabung lebih.
“Dengan artinya dua indeks ini, LPS memiliki alat yang bisa digunakan untuk mengontrol relasi konsumen yang berfungsi untuk mendeteksi potensi risiko atas stabilitas sistem keuangan dari sisi konsumen,” kata Purbaya.