Bank Indonesia (BI) memastikan nilai tukar rupiah tetap stabil, meski tekanan global semakin besar menjelang akhir tahun. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan pelemahan rupiah yang terjadi pada November 2025 tak terhindarkan karena ketidakpastian pasar keuangan internasional, sehingga menekan hampir seluruh mata uang regional.
Rupiah pada 18 November 2025 berada di Rp 16.735 per dolar AS atau melemah 0,69 persen dibandingkan akhir Oktober. Pergerakan ini berada dalam tren yang sama dengan mata uang negara mitra dagang Indonesia. Untuk meredam tekanan tersebut, BI melakukan stabilisasi melalui intervensi terukur di pasar spot, NDF off-shore dan on-shore (DNDF), serta pembelian SBN di pasar sekunder.
“Nilai tukar rupiah terkendali di tengah besarnya tekanan akibat ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat,” ujar Perry.
Perry menekankan peningkatan konversi valuta asing dari eksportir, terutama usai penguatan kebijakan DHE SDA, ikut menambah pasokan valas dan menahan pelemahan rupiah. BI juga melihat stabilitas ke depan tetap terjaga berkat imbal hasil aset rupiah yang menarik, inflasi rendah, serta prospek ekonomi Indonesia yang solid.
Ke depan, Perry menegaskan BI akan terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi NDF di luar negeri, transaksi spot dan DNDF di dalam negeri, serta pembelian SBN sebagai bagian dari penguatan transmisi kebijakan dan pengendalian inflasi.
Deputi Gubernur BI Destry Damayanti menegaskan pelemahan rupiah tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan respons pasar terhadap lonjakan ketidakpastian global. Investor, kata dia, kembali memilih dolar AS sebagai aset aman. Sehingga indeks dolar (DXY) terus bergerak menguat.
“DXY kecenderungannya terus naik, demikian juga yield dari US bond, treasury-nya Amerika itu juga masih tinggi yield-nya sehingga tentu ini mendorong risk off di pasar emerging market, termasuk di Indonesia,” kata Destry.
Destry mengatakan kondisi tersebut membatasi aliran modal asing ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak Oktober, tekanan pada rupiah dan mata uang regional meningkat, meski volatilitas harian tetap terjadi.
“Sebagai contoh hari ini, pasar regional menguat, termasuk rupiah hari ini menguat di level 0,21 persen,” jelas Destry.
Untuk memperkuat stabilitas rupiah sekaligus memperdalam pasar valas domestik, BI berencana memperluas operasi moneter menggunakan instrumen spot dan swap dalam mata uang yuan (CNY) dan yen Jepang (JPY).
Destry menjelaskan langkah ini diambil karena permintaan terhadap kedua mata uang tersebut terus naik, terutama lewat skema Local Currency Transaction (LCT) yang semakin menggeliat. Permintaan renminbi, misalnya, meningkat pesat karena transaksi LCT Indonesia-Cina terus berkembang.
“Salah satu bulan (LCT dengan Cina) itu bisa USD 1 miliar. Nah selama ini bank mungkin kesulitan untuk mencari renminbi ataupun CNY,” ujar Destry.
Dengan pembukaan instrumen baru, BI berharap tekanan terhadap dolar AS berkurang. Apalagi transaksi LCT per Oktober 2025 tercatat naik 1,6 kali lipat dari tahun sebelumnya dan jumlah pesertanya melonjak signifikan.
“Pesertanya juga sekarang sudah mencapai 15.473. Padahal pada saat 2024 yang lalu itu hanya 5.053 peserta,” tutur Destry.
BI menilai diversifikasi instrumen valas ini akan memberi alternatif likuiditas baru bagi perbankan dan korporasi, sekaligus mendukung stabilitas rupiah di tengah dinamika global yang masih bergejolak.
