Penerimaan Pajak hingga Oktober 2025 mulai berada di zona waspada menjelang penutupan tahun anggaran. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melaporkan, realisasi pajak neto sampai Oktober 2025 tercatat Rp 1.459,03 triliun, atau terkontraksi 3,9 persen secara tahunan. Penurunan ini terjadi karena restitusi pajak melonjak 36,4 persen, sehingga penerimaan bersih yang dapat dimanfaatkan negara menyempit.
Pajak neto adalah penerimaan bersih yang benar-benar masuk ke kas negara setelah dikurangi restitusi. Artinya pemerintah masih kurang Rp 730 triliun penerimaan pajak dari target APBN 2025 sebesar Rp 2.189 triliun.
Bimo menjelaskan, sektor perdagangan otomotif dan perdagangan besar juga masih lemah. Sementara aktivitas komoditas seperti batu bara, minyak, dan nikel belum pulih sepenuhnya akibat penurunan harga internasional.
Di tengah tekanan penerimaan, DJP menilai restitusi tetap memberi manfaat ekonomi karena mengembalikan likuiditas ke dunia usaha.
“Kalau kita lihat restitusi ini artinya uang kembali ke masyarakat, sehingga dengan restitusi, kas yang diterima oleh masyarakat termasuk private sector itu tentu bertambah dan diharapkan bisa meningkatkan aktivitas kegiatan perekonomian,” kata Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/11).
Sementara itu, penerimaan pajak bruto masih menunjukkan tren pertumbuhan. Bimo mencatat realisasi bruto hingga akhir Oktober 2025 mencapai Rp 1.799,55 triliun, atau tumbuh 1,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kinerja positif masih didorong oleh sektor ketenagalistrikan, pertambangan bijih logam, industri sawit, perbankan, dan perdagangan online.
“Adapun di sampai paruh waktu Oktober 2025 kami bisa mencatatkan angka sekitar 1,8 persen lebih tinggi dari tahun lalu di angka Rp 1.799,55 triliun,” ungkapnya.
Pajak bruto adalah total seluruh penerimaan sebelum dikurangi restitusi (pengembalian pajak ke wajib pajak).
Bimo memproyeksi realisasi penerimaan pajak hingga akhir tahun mencapai Rp 2.076 triliun. Untuk mengamankan penerimaan di sisa 2025, DJP mengandalkan optimalisasi dari sektor-sektor yang masih tumbuh positif serta proses bisnis inti perpajakan termasuk pengawasan kepatuhan, pemeriksaan, penegakan hukum, dan penagihan aktif. Sinergi dengan aparat penegak hukum juga diperkuat untuk menjaga kepatuhan wajib pajak.
Pengamat menilai tantangan penerimaan pajak tahun ini bukan hanya mengejar target, tetapi bahkan mengejar outlook diprediksi sulit tercapai.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai realisasi penerimaan masih jauh dari ideal dan memiliki risiko shortfall besar. Menurutnya, capaian 70 persen hingga Oktober adalah terhadap outlook, sementara terhadap target penerimaan APBN posisinya lebih rendah. Ia menyampaikan bahwa simulasi proyeksi akhir tahun menunjukkan penerimaan kemungkinan tidak dapat menembus 84 persen.
“Kita proyeksikan akan ada shortfall penerimaan pajak kisaran Rp 328,4 – 394,07 triliun. Sangat sulit mengejar target penerimaan bahkan outlook 2025. Kita harapkan akan ada segala daya upaya untuk menggenjot penerimaan agar stabilitas makroekonomi kita dapat terjaga,” kata Fajry.
Fajry mengatakan, jika pelemahan ekonomi menjadi penyebab utama tekanan penerimaan, maka upaya optimalisasi pajak saja tidak cukup.
Ia menilai pemerintah perlu mendorong aktivitas ekonomi kuartal IV untuk menjaga penerimaan, sementara dirinya yakin DJP sudah bekerja maksimal.
Pendapat serupa disampaikan Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono. Ia memproyeksikan apabila situasi penerimaan tidak berubah, realisasi hingga akhir tahun hanya sekitar 84 persen dari target. Menurutnya, peningkatan penerimaan pada sisa waktu dapat dilakukan melalui langkah intensifikasi dan ekstensifikasi.
Prianto menjabarkan opsi teknis yang biasa digunakan otoritas pajak, termasuk meminta wajib pajak badan menambah setoran angsuran PPh 25 atau melakukan perluasan skema prepaid taxes di bulan Desember untuk membantu penerimaan tutup tahun dengan pemindah bukuan kembali ke periode Januari pada tahun berikutnya.
“Kalau dilihat dari realisasi target 70 persen di Januari-Oktober dan dengan asumsi semuanya ceteris paribus, proyeksi penerimaan pajak Januari-Desember 2025 hanya sekitar 84 persen,” kata Prianto.
