Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja, akhirnya harus menanggung akibat dari perbuatannya. Nama yang dulu disegani di jajaran kepolisian Nusa Tenggara Timur itu kini tercoreng oleh kejahatannya sendiri.
Fajar ditangkap tim gabungan Divisi Propam Polri dan Bidang Propam Polda NTT pada 20 Februari 2025, setelah muncul dugaan kuat bahwa ia melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur, masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun.
Dalam aksinya, Fajar tidak sendiri. Ia dibantu seorang perempuan berusia 20 tahun berinisial SHDR alias Stefani alias F.
Sidang etik kepolisian yang digelar pada 17 Maret 2025 menjatuhkan sanksi tegas: pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Karier panjang Fajar di kepolisian pun berakhir, meninggalkan catatan kelam yang mencoreng institusi yang seharusnya melindungi masyarakat.
Tidak hanya itu , Fajar juga dijatuhi hukuman pidana penjara.
Fajar disidang dalam kasus tersebut. Pada Selasa (21/10) hakim menjatuhkan vonis kepadanya. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kupang menjatuhkan vonis 19 tahun penjara karena Fajar dinilai terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu korban dewasa.
Sidang putusan digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (21/10), dipimpin Ketua Majelis Hakim Anak Agung Gde Agung Parnata.
“Menjatuhkan pidana penjara selama 19 tahun dan denda Rp 5 miliar,” kata Parnata.
Selain hukuman penjara, Fajar diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar serta restitusi Rp 359.162.000 kepada para korban.
Barang bukti seperti pakaian, handphone, laptop, dan rekaman video dimusnahkan, sementara barang milik korban dikembalikan.
Hakim menekankan, perbuatan Fajar memenuhi unsur pidana menurut Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Vonis tersebut\ lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Fajar 20 tahun penjara.
JPU menilai, terdakwa tidak menunjukkan penyesalan, membantah perbuatannya, menimbulkan trauma mendalam bagi korban anak, mencoreng nama baik Polri, serta tidak mendukung perlindungan anak.
Ketua Tim JPU, Arwin, menyatakan, persetubuhan yang dilakukan Fajar melalui pesanan aplikasi daring memenuhi unsur pelanggaran UU TPKS dan UU Perlindungan Anak.
“Ini kita anggap sudah maksimal,” kata Arwin.
Stefani mahasiswi penyalur anak dibawah umur juga diganjar hukuman penjara. Dia dinilai terbukti dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dia dihukum 11 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kupang.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Fani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, serta Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 17 Undang-Undang Pemberantasan TPPO.
“Seluruh unsur tindak pidana dalam kedua pasal tersebut telah terbukti,” kata hakim saat membacakan amar putusan.
Selain pidana penjara, Fani diwajibkan membayar denda Rp 2 miliar subsidair 1 tahun kurungan, serta biaya perkara sebesar Rp 5.000.
Majelis hakim menilai, perbuatan Fani tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam bagi korban, seorang anak perempuan berusia 6 tahun berinisial IS, serta menimbulkan keresahan luas di masyarakat.
Hakim menegaskan, tindakan terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan ramah bagi anak.
Meski begitu, majelis hakim mempertimbangkan usia terdakwa yang masih muda sebagai satu-satunya hal yang meringankan.
“Terdakwa masih muda dan diharapkan dapat memperbaiki diri di kemudian hari,” ujar hakim.
